Tidak Generasi Kerdil


Oleh Taufik Abdullah
  Advertising  
  Support IMM and his starving members. Place an ad here for as little as $5!  
  University Link  
  Lihat Univ. Muhammadiyah Se-Nusantara IMM beside Student!  

DALAM salah satu sidang dari Konferensi Sejarah Indonesia-Belanda yang diadakan di Belanda (1976), seorang guru besar Belanda, ahli sastra Indonesia, bertanya kepada sang pemakalah. "Selain kedekatan bahasa Minangkabau dengan bahasa Indonesia, apakah yang menyebabkan pengarang dari Minangkabau bisa tampil sebagai pelopor sastra Indonesia modern? Mengapa sebagian besar dari penulis roman terbitan Balai Pustaka berasal dari Minangkabau?" Sang pemakalah sama sekali tidak menyangka datangnya pertanyaan seperti itu.

Sebab, makalah yang diajukannya ialah sebuah interpretasi historis tentang penghadapan Minangkabau dengan masalah kolonialisme setelah Perang Padri berakhir. Apakah kekalahan harus diterima sebagaimana adanya ataukah dikaburkan secara kultural sehingga kepedihan itu tak lagi terasa? Atau bagaimana?

Pada tahun 1832, benteng Bonjol jatuh ke tangan serdadu Kompeni. Intervensi Kompeni, yang sejak abad ke-17 telah bercokol di kota Padang, pada tahun 1821 masuk ke dalam konflik internal Minangkabau, kini, sebelas tahun kemudian, seakan-akan telah berakhir dengan kekalahan kaum Padri. Perilaku serdadu Kompeni pun menunjukkan keyakinan mereka bahwa perang yang melelahkan itu telah berakhir dengan kemenangan mereka. Tidak ubahnya dengan gaya orang yang menang perang, para serdadu itu pun berbuat sekehendak hati mereka.

Masjid dijadikan asrama dan ternak, serta bahan makanan lain dirampas begitu saja. Tetapi, perasaan menang perang itu hanyalah ilusi saja. Tiba-tiba di suatu malam, seruan "Allahu Akbar" berkumandang, ratusan "kaum Putih" menyerbu serdadu Kompeni yang sedang pulas dalam mabuk kemenangan itu. Hanya beberapa orang serdadu Kompeni yang lolos untuk menceritakan kisah tragis yang telah mereka alami. Lonceng bermulanya perlawanan baru telah dimulai.

Kompeni menghadapi kenyataan bahwa "kaum hitam", para pendukung tatanan sosial dan kehidupan keagamaan yang lama, yang mereka bela dalam menghadapi "kaum putih", yang secara radikal menginginkan pembaruan sosial-keagamaan yang total, telah banyak yang berpaling. Babak ketiga dari Perang Padri-yang pertama merupakan konflik internal, dan kedua intervensi Belanda ( 1821)-telah bermula. Kini yang terjadi ialah perlawanan Minangkabau melawan Kompeni.

Pada fase ketiga inilah "raja alam" Minangkabau, yang bersemayam di Pagaruruyung, Sultan Bagagarsyah Alam, dibuang ke Batavia. Ia telah memperlihatkan tanda-tanda bersimpati pada kaum Padri. Sentot Alibasyah, salah seorang bekas panglima pasukan Pangeran Diponegoro di masa Perang Jawa (1825-1830), yang sempat berpihak pada Kompeni, dibuang ke Bengkulu. Ia dan beberapa orang penghulu adat dicurigai telah "bermain mata" dengan kaum Padri. Nasib para penghulu adat lebih parah. Mereka dihukum gantung.

Pemerintah Hindia Belanda kini telah menyadari bahwa mereka tidak lagi hanya menghadapi "kaum putih" yang radikal, tetapi masyarakat Minangkabau. Maka pemerintah pun mengeluarkan pengumuman yang disebut Plakat Panjang (1833)-sebuah pernyataan yang sampai sekarang tidak pernah terhapus dari ingatan kolektif Minangkabau. Pernyataan itu mengatakan bahwa kedatangan Kompeni ke Minangkabau tidaklah bermaksud untuk menguasai negeri ini, mereka hanya datang untuk berdagang dan menjaga keamanan.

Penduduk Minangkabau akan tetap diperintah oleh para penghulu adat mereka dan tidak pula diharuskan membayar pajak atau belasting. Hanya saja, karena usaha Kompeni untuk menjaga keamanan, mencegah terjadinya "perang antar-nagari", membuat jalan-jalan, membuka sekolah, dan sebagainya memerlukan biaya, maka penduduk diwajibkan menanam kopi dan menjual hasilnya ke gudang-gudang pengumpulan kopi, pakhuis, Kompeni. Tetapi perang terus juga berlanjut. Akhirnya benteng Bonjol jatuh juga untuk kedua kalinya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1837.

Tuanku Imam Bonjol yang datang menemui panglima Belanda untuk berunding, malah ditangkap dan langsung dibawa ke Padang, untuk selanjutnya dibuang Jawa. Ia akhirnya menemui pencipta-Nya di Lotak, tanah Minahasa. Meskipun secara resmi Perang Padri berakhir pada tahun kejatuhan benteng Bonjol, tetapi benteng terakhir Padri, Dalu-Dalu, di bawah pimpinan Tuanku Tambusai, barulah jatuh pada tahun 1838. Alam Minangkabau telah menjadi bagian dari pax neerlandica. Tetapi pada tahun 1842, pemberontakan Regent Batipuh-regent yang diangkat pemerintah Hindia Belanda karena membantu Kompeni - meletus dengan dahsyat.

Setelah pemberontakan ini berhasil dipadamkan, tanaman paksa kopi dilaksanakan. Anak negeri pun diharuskan menjual kopi hasil mereka ke pakhuis, gudang pembelian, Kompeni dengan harga yang telah ditetapkan. Provinsi Sumatra's Westkust telah berdiri dengan segala kelengkapannya. Seperti halnya dengan kebanyakan daerah di Hindia Belanda, Minangkabau pun diperintah dengan gaya "tidak langsung", indirect, artinya Belanda bertengger di atas sistem kekuasaan tradisional.

Untuk keperluan itu pemerintah memperkuat sistem kekuasaan adat ini dengan memperkenalkan pemerintahan yang supra Nagari, di bawah pimpinan seorang tuanku laras. Karena itulah dampak kekuasaan Belanda menukik jauh ke bawah, apalagi dengan sistem tanam paksa kopi dan keharusan rodi atau heerendiensten alias kerja paksa untuk membuat jalan dan fasilitas umum lainnya. Hanya penghulu adat dan kerabat dekatnya yang terbebas dari wajib rodi.

Realitas politik dan ekonomi dengan keras bisa bersaksi bahwa sejak jatuhnya benteng Bonjol, "alam Minangkabau" praktis telah berada di bawah kekuasaan Hindia Belanda (meskipun, perlu juga dicatat bahwa proses penetrasi kekuasaan Belanda ke daerah-daerah terpencil masih berjalan sampai dengan awal abad 20), tetapi tidak demikian halnya dalam kesadaran masyarakat dan tidak pula begitu dalam paradigma politik yang berlaku.

Bukankah Plakat Panjang telah mengatakan bahwa Kompeni datang untuk berdagang dan menjaga keamanan? Bukankah pula pemegang kekuasaan yang tampak dalam keseharian adalah para penghulu adat mereka juga dan bukankah pula para penghulu itu senantiasa berunding di balai adat juga? Tidakkah tuanku laras, yang menjadi kepala federasi nagari adalah seorang penghulu adat? Rodi memberatkan dan menjengkelkan, tetapi bukankah yang mengaturnya seorang "penghulu rodi"?

Maka, begitulah masyarakat Minangkabau berbuat sesuai dengan paradigma yang dibentuk oleh pemahaman tentang Plakat Panjang ini, betapapun mungkin realitas politik dan ekonomi yang keras mengatakan sebaliknya. Pola perilaku terhadap kekuasan pun dibentuk oleh paradigma ini. Kalau keluarga penghulu bisa bebas dari rodi, mengapa keluarga yang kaya tidak "mendirikan" kepenghuluan sendiri atau keluarga penghulu yang besar membagi dua kepenghuluannya? Apalagi pengangkatan seorang penghulu hanya memerlukan sakato alam, artinya persetujuan komunitas adat, yang memang hanya sebatas nagari saja.

Kalau harga kopi ditentukan pemerintah, sang pemegang monopoli tidak pernah mengalami perbaikan, mengapa tidak berdagang komoditas lain? Bila perilaku ekonomi ini telah dijalankan, siapakah yang akan heran kalau produksi kopi terus menurun? Pemasukan ke dalam kas pemerintah secara pasti menurun pula dari tahun ke tahun.

Minangkabau pun melanjutkan kehidupan politik dan ekonomi dalam suasana kepura-puraan ini, seakan-akan Kompeni hanyalah tamu kaya yang pantas disegani saja.

Landasan baru, konservatisme baru

"Kemenangan" Minangkabau setelah Perang Padri berakhir ini tidaklah hanya terletak pada kemampuannya menghadapi tantangan kolonialisme, tetapi juga pada keberhasilan relatif untuk mengatasi dilema kultural yang dihadapinya. Bagaimanakah kesaktian adaik nan kawi, yang dikatakan "tak lekang karena panas, tak lapuk karena hujan" bisa dipertahankan, kalau pengabdian kepada agama akan ditegakkan? Bagaimanakah sistem kekerabatan yang matrilineal harus dipelihara kalau ketentuan fikih yang cenderung patrilineal harus diikuti pula? Bukankah keduanya sekadar masalah kekerabatan, tetapi juga melibatkan sistem kekuasaan dan hukum waris?

Kesalahan dalam menjalankan ketentuan warisan ini hukumnya tak pula kurang daripada haram. Syekh Ahmad Chatib al-Minangkabawi, yang berasal dari Kota Gadang dan menjadi salah seorang Imam dari Mazhab Syafei di Masjidil Haram, Mekkah, tidak mau pulang ke tanah kelahirannya karena hukum waris Minangkabau telah menyebabkan masyarakat ini menanggung dosa kolektif.

Sebab-sebab ideologis dari Perang Padri, di samping faktor ekonomi dan status sosial, yang mendukungnya, sesungguhnya bermula dari hasrat reformasi yang keras dari para ulama muda, yang telah terpengaruh oleh gerakan radikal yang sedang mekar di Tanah Suci.

Dalam perang-perang yang saling menghancurkan nagari ini-sesuatu yang seingat masyarakat tidak pernah terjadi-pelan-pelan, tetapi pasti kearifan baru muncul juga. Akhir dari Perang Padri memang telah menjadikan daerah pedalaman Minangkabau jatuh ke bawah kekuasaan Belanda, tetapi struktur kekuasaan adat baru dan lebih penting lagi, pemahaman baru tentang hubungan adat dan agama didapatkan juga.

Wacana adat tidak menafikkan gejolak perubahan yang sedang melanda masyarakat, tetapi bukankah yang terpenting ialah kemaslahatan bersama? Karena itulah semua harus dimusyawarahkan. Buku Datuk Sangguno Diradjo, yang berjudul, Mustiko adat Alam Minangkabau, yang ditulis sebagai kisah fiktif, menghadapkan dirinya kepada dilema antara perubahan hasil musyawarah dengan kearifan yang terlekat pada tatanan sosial yang diwarisi.

Merantau adalah suatu keharusan demi tercapainya keluasan wawasan dan sebagainya, tetapi bukankah merantau bisa menyebabkan sang perantau menginginkan sesuatu yang baru di kampung halamannya? Maka, sebuah diktum adat pun diperkenalkan dan selalu diajarkan, Elok di awak, katuju di urang- "yang bagus bagi kita , (mestilah pula) disenangi orang lain".

Pergolakan intelektual

Konservatisme tidaklah landasan dari perilaku reaksioner, yang menolak segala perubahan dan ingin kembali ke tatanan lama yang telah diidealkan. Konservatisme bertolak dari keinginan untuk mempertahankan sesuatu yang dianggap terbukti baik. Maka mestikah diherankan kalau ketika perubahan yang datang dari luar terasa menggugah kemantapan tata cara yang telah diyakini sebagai sesuatu yang baik itu, para literati, sang penjaga kemantapan, dipaksa juga untuk menggali unsur dinamis dari konservatisme? Inilah yang terjadi ketika seruan "kemajuan" telah semakin bergema.

Ketika inilah seorang ideolog dan sekaligus literati adat Minangkabau, Datuk St Maharadja, menganjurkan pendidikan perempuan. Ia pun mendirikan beberapa kursus tenun bagi perempuan dan menerbitkan surat kabar perempuan, Soenting Melajoe (1915-1920), dengan redaksi Rohana Kudus (kakak seayah Sutan Sjahrir) dan anaknya sendiri, Ratna Djoewita, yang masih bersekolah, tetapi telah dikhayalkannya sebagai "Kartini Kecil". Bukankah, katanya, adat Minangkabau bertolak dari garis keibuan?

Tetapi, mengapa dibiarkan kaum ibu tertinggal dalam peredaran zaman? Jadi, perempuan bersekolah bukanlah akibat pengaruh Barat, tetapi keharusan kultural yang telah terlekat dalam adat Minangkabau. Dengan kata lain, adat Minangkabau pada dasarnya adalah peletak dasar "kemajuan". Dengan alur argumen seperti ini pula ia memimpin "revolusi adat", yang menyerang sistem status sosial Kota Padang, yang dipengaruhi Aceh.

Hatta dan cendekiawan Minangkabau

"Sebuah abad besar telah lahir. Tetapi, ia menemukan generasi yang kerdil."

Bung Hatta tidak pernah lupa dengan kuplet sajak Schiller ini. Ia bahkan sering sekali mengutipnya, sejak ia mulai memperkenalkannya di tahun 1920-an. Barangkali ia merasakan bahwa abad ke-20 adalah sebuah abad yang melahirkan berbagai kesempatan. Bukankah ia, seorang anak dari negeri jajahan, bisa juga menimba ilmu di Eropa, bahkan memperjuangkan kemerdekaan tanah airnya di negeri sang penjajah? Tetapi, mengapakah sedemikian cepat ia telah terbawa oleh suasana "abad besar" itu? Mungkinkah pengalaman dan suasana kampung halamannya mempengaruhi juga pembentukan pribadi dan sikapnya?

Ketika pemberontakan anti-belasting terjadi di Kamang, sebuah nagari yang terletak tidak jauh dari Kota Bukittinggi, pada tahun 1908, Hatta telah berumur enam tahun. Ia mungkin tidak tahu apa yang terjadi di dekat kota kelahirannya itu. Tetapi, mitos Plakat Panjang yang dikhianati tidak pernah dilupakannya, meskipun kemudian, di masa tuanya, ia bisa melihatnya dengan rasa kelucuan. Sebagai anak MULO, yang bersekolah di Padang, ia pun-seperti juga teman akrabnya Bahder Djohan-bukan saja aktif membantu penerbitan Soeara Perempoean (dengan tugas mengepak majalah untuk dikirim), tetapi juga telah ikut menjadi pengurus cabang JSB.

Ia pun tidak pernah melupakan keakraban hubungan mereka, anak-anak sekolah menengah Barat, dengan para pentolan Sarekat Oesaha, para pedagang besar, yang berpusat di Pasar Gadang (Padang) dan ulama "kaum muda". H Abdullah Ahmad, pemimpin "kaum muda" di Padang adalah juga guru agama Islam di sekolah MULO. Hatta-seperti juga kawan-kawan seangkatannya dan yang lebih muda -memang ditempa oleh Minangkabau yang sedang berada di persimpangan jalan ketika hasrat "kemajuan" telah menggoyah validitas landasan konservatismenya dan ketika hasrat kebebasan individu harus ditempa oleh keterikatan pada komunitas.

Ia dibesarkan di saat optimisme memasuki "dunia maju" masih terus dibayangi oleh mitos Plakat Panjang yang dikhianati. "Tradisi penentangan" masih merupakan bagian dari kesadaran masyarakat, meskipun kesempatan yang dibukakan oleh kekuasaan kolonial tidak pula dibiarkan lewat begitu saja.

Ia pula adalah seorang "anak kota" yang merasakan apa pula artinya berada dalam situasi multikultural dan suasana sosial hierarki sosial yang ditentukan oleh ras. Suasana kultural dan sosial inilah yang menghilangkan perbedaan mendasar antara Hatta, yang berlatar belakang keulamaan dan dunia dagang, dengan kawan seangkatan atau yang lebih muda.

Seperti halnya dengan Hatta, Natsir, dan Assaat, bahkan juga Tan Malaka, bersekolah "Belanda", tetapi mereka adalah keturunan penghulu adat, yang kemudian menduduki jabatan itu di pesukuan mereka masing-masing.

Sjahrir, seperti juga the grand old man Haji Agus Salim, adalah keturunan pejabat pemerintah. Yamin adalah anak guru. Tetapi kesemuanya, di samping yang lain, lagi, seakan-akan menolak "ketakutan" Schiller, yang selalu diingat Hatta- mereka bukanlah generasi yang kerdil ketika "abad besar" telah datang. Hatta mungkin yang paling terkemuka, tetapi ia di tengah-tengah kawan segenerasinya, bahkan juga yang lebih muda, tidaklah unik. Mereka adalah generasi yang ditempa oleh sebuah masyarakat yang sedang mengalami self-examination.

Seakan-akan mewujudkan dalam kehidupan pribadi pandangan kesejarahan tambo mereka tidak berhenti pada terciptanya kesempurnaan "alam", tetapi melanjutkan eksplorasi ke "rantau" dan menjinakkannya. Secara konseptual, mereka menjadikan rantau sebagai "kampung halaman". Maka Hatta pun menulis, beberapa saat sebelum ia ditangkap dan dibuang," Di atas segala lapangan tanah air aku hidup,aku gembira. Dan di mana kakiku menginjak bumi Indonesia, di sanalah tumbuh bibit cita-cita yang kusimpan dalam dadaku".

Kalau telah begini, mestikah diherankan kalau dalam pidato pembelaannya di Belanda (1928) ia menyudahinya dengan sebuah doa harapan," Semoga bangsa Indonesia menikmati kemerdekaan di bawah langit yang biru dan merasa dirinya sebagai yang mempunyai negeri, karunia rahmat Tuhan". Dan mengakhirinya dengan mengutib sekuplet sajak Renne de Clerq,

"Hanya satu negeri yang menjadi negeriku. Ia tumbuh dari perbuatan, dan perbuatan adalah usahaku."

Kesudahannya? The rest is history. Kesudahannya adalah sejarah yang masih merupakan bagian dari ingatan kolektif bangsa. Sentralisasi kekuasaan, otoritarianisme, serta hegemoni wacana dari pemegang kekuasaan tanpa disengaja telah mengancam "kampung halaman "kembali menjadi rantau-rantau yang asing dan nan batuah".

Mungkin, sebuah "kecelakaan sejarah" ketika tantangan sentralisasi kekuasaan hegemoni wacana ini datang, Minangkabau tak lebih daripada "murid yang baik" saja. Sebuah "kesalahan historis" yang nyaris fatal telah menyebabkannya kehilangan pilihan, selain mengikuti pada yang diinginkan oleh sang pemegang kuasa. "Kesalahan historis" ternyata telah menghambat lahirnya "abad besar".

Dr Taufik Abdullah Ketua LIPI

Banner ads show at the top of every page, while text ads show up on the right-hand side of most pages (like on this one). The cost of an ad is $1.00 and $0.25 per 1000 impressions for banner and text ads respectively. You can control the starting and ending dates of your campaign, as well as the maximum number of ads shown to a specific user. If you have any questions feel free to send me an email at dppimm@yahoo.com.

To purchase an ad now, click here and follow the directions.

Thanks,

Promotor
© 2002 DPP IMM, All Rights Reserved