Keagamaan Rakyat dalam Sistem Demokrasi


Oleh Abdul Munir Mulkhan
  Advertising  
  Support IMM and his starving members. Place an ad here for as little as $5!  
  University Link  
  Lihat Univ. Muhammadiyah Se-Nusantara IMM beside Student!  

Hasil amandemen UUD 1945 dalam Sisang Tahunan MPR awal Agustus ini, seolah kado istimewa peringatan Hari Kemerdekaan RI. Di antara hasil amandemen yang penting adalah pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung. Sementara, pasal 29 ayat 2 ditetapkan seperti naskah aslinya. Hasil amandemen itu mencerminkan penguatan kembali kedaulatan rakyat dalam menentukan pimpinan nasional dan dalam memenuhi ajaran agama yang dipeluknya.

Sementara pihak menempatkan demokratisasi kedaulatan keagamaan rakyat di atas dalam posisi seolah berlawanan dengan hak mutlak ketuhanan dengan menolak voting untuk menentukan tiga alternatif ayat 2 pasal 29. Agama bagi pemeluknya, terutama agama samawi, diyakini sebagai wahyu dari Tuhan yang kebenarannya mutlak dan tidak bisa diamandemen oleh manusia. Namun, wahyu Tuhan itu sendiri bukankah memberi ruang bagi manusia untuk menerima sesuai kesadarannya sendiri dan menafsirkan sepanjang kemampuan manusia? Syariat Islam dalam rumusan Piagam Jakarta itu pun merupakan hasil ijtihad dan bukan wahyu. Islam sebagai wahyu diyakini telah selesai pada masa kenabian Muhammad SAW, tapi Islam sebagai tafsir ijtihadi dari para ulama tetap terbuka sepanjang sejarah. Di sinilah posisi keberlakuan syariat Islam dalam sistem perundang-undangan dan dalam realitas kehidupan pemeluknya.

Dalam arti dan posisi di atas itu pula letak kegagalan perjuangan memasukkan tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam batang tubuh UUD 1945 dari sebagian pihak. ST MPR 2002 menetapkan rumusan pasal 29 ayat 1 dan 2 kembali ke naskah asli seperti hasil ketetapan Sidang BPUPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Pendukung Piagam Jakarta kembali gagal meyakinkan anggota MPR yang mayoritas Muslim akan pentingnya tujuh kata ''dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya'' itu dimasukkan ke dalam batang tubuh UUD 1945. Masalahnya bukanlah karena anggota MPR yang Muslim meragukan kebenaran ajaran Islam, tapi apakah keberlakuan ajaran Islam itu hanya bisa diukur dari masuknya rumusan verbal syariat Islam ke dalam batang tubuh UUD 1945?

Kegagalan parpol Islam

Persoalan berikut yang tak kalah menarik adalah fakta kegagalan partai bersimbol Islam hingga untuk memperoleh dukungan mayoritas dari penduduk yang mayoritas memeluk Islam. Pemilihan secara langsung presiden dan wakil presiden dalam Pemilu 2004 nanti juga belum tentu dimenangkan calon dari partai bersimbol Islam. Hal ini lebih berkaitan dengan komunikasi politik dalam sistem demokrasi yang dibangun dan dikembangkan partai bersimbol Islam dengan calon presiden dan wakilnya yang berakar kesadaran keagamaan dan kepentingan rakyat banyak. Kategorisasi santri dan abangan tampaknya tetap relevan untuk memahami persoalan komunikasi dengan mayoritas pemilih yang memeluk Islam tetapi mayoritas tergolong abangan dengan kesadaran keagamaan khas sebagai bagian dari proses menjadi Muslim. Afirmasi kesadaran keagamaan publik dan rakyat kebanyakan inilah yang membuat risalah Muhammad SAW dalam tempo relatif singkat memperoleh dukungan luas.

Afirmasi kesadaran keagamaan publik dan rakyat banyak di atas penting dijadikan referensi peletakan ajaran agama di dalam sistem kenegaraan nasional dan dalam sistem demokrasi. Sekularisasi memang berhasil membuat bangsa-bangsa Eropa dan Barat lain menjadi modern dan berkelimpahruahan ekonomi, namun tetap menyisakan persoalan kesenjangan sosial, kemiskinan dan pragmatisme tanpa akar moral. Soalnya bagaimana menyusun sistem sosial, ekonomi, dan politik demokratis berdasar etika-moral yang bersumber dari ajaran agama. Semua agama memiliki ajaran tentang moral dan etika yang pada dataran filosofis bernilai universal sebagai dasar konsensus semua agama di dalam bingkai kebangsaan dan nasionalitas. Pasal 29 ayat 1 dan 2 dari naskah asli UUD 1945 mempunyai makna fungsional bagi peletakan agama sebagai dasar etika-moral praktik demokrasi nonsekuler di negeri ini.

Selanjutnya, formula etika dan moral keagamaan sebagai konsensus semua agama tersebut di atas penting disusun dengan memperhatikan kesadaran keagamaan umat dan rakyat banyak. Dari sini baru bisa diharapkan berkembangnya pola kehidupan nasional yang bersumber dari etika dan moral keagamaan yang lebih berfungsi sebagai kendali keserakahan kekuasaan dan ekonomi yang selama ini menumbuhkan perilaku KKN. Di saat semua pihak yang memiliki hati nurani seperti kehilangan harapan bagaimana harus menegakkan hukum, pemerintahan yang bersih dan yang bebas perilaku KKN, mungkin konsensus tentang etika dan moral keagamaan universal tersebut bisa dijadikan harapan baru bagi kebangkitan nasional pasca kemerdekaan yang hari-hari ini kita peringati.

Para pihak yang memperjuangkan berlakunya suatu ajaran agama atau ideologi di negeri ini selalu berdalih bahwa perjuangan yang dilakukannya adalah bagi kepentingan rakyat banyak. Persoalan yang selalu penting disadari para pihak itu ialah apakah rakyat banyak memang membutuhkan ideologi atau keberlakuan ajaran agama yang mengikat mereka secara yuridis, atau kebutuhan hal itu hanyalah persepsi elite dan para pihak itu sendiri. Pertanyaan seperti itu mengandaikan kesenjangan keagamaan elite dan rakyat yang cenderung dilihat dari penguasaan dan tafsir atas kitab suci menurut elite agama yang semestinya perlu diterjemahkan bagi kepentingan umat dan rakyat banyak sebagai bagian dari kitab suci yang sering disebut sunnatullah atau ayat-ayat kauniyah.

Kegagalan pengembangan komunikasi politik dan keagamaan berdasar kesadaran dan tafsir keagamaan umat dan rakyat merupakan salah satu faktor penting kegagalan partai berbasis keagamaan memperoleh dukungan mayoritas rakyat. Dalam arti tertentu hal ini juga mempengaruhi partisipasi rakyat dalam kepemimpinan nasional. Demokrasi memang membuka peluang bagi setiap kelompok masyarakat memperjuangkan ideologi dan keyakinan keagamaannya, namun tetap perlu memperhatikan kepentingan banyak kelompok lain.

Partai politik berhak memperjuangkan suatu sistem ideologi atau ajaran agama atas nama konstituen dan pendukungnya, namun penting meminta pendapat mereka tentang masalah bersangkutan. Sayangnya, partai politik negeri ini seperti di dalam masyarakat tradisional, seringkali memperjuangkan suatu masalah penting atas nama pendukungnya tanpa terlebih dahulu meminta pendapat mereka. Partai politik dengan mudah berbicara atas nama rakyat dan menyatakan perjuangannya bagi kepentingan rakyat banyak. Hasil perolehan suara dalam suatu pemilu memang bisa menjadi cermin dukungan rakyat atas perjuangan partai. Namun, perlu klarifikasi apakah dukungan itu didasari persetujuan rakyat terhadap program partai atau dukungan atas elite partai bersangkutan.

Gejala di atas menunjukkan adanya kecenderungan 'manipulasi' suara rakyat dan warga pendukung suatu partai yang bisa berarti pengingkaran demokrasi yang dilakukan secara sengaja. Ideologi dan kitab suci seringkali dijadikan sumber referensi elite partai untuk me-'manipulasi' suara rakyat dan warga pendukungnya. Rakyat pemeluk agama seringkali lebih sebagai massa artifisial yang tak pernah didengar pendapatnya tentang ideologi dan kitab suci. Kesenjangan kesadaran keagamaan rakyat dan elite itulah yang antara lain menjadi penyebab partai berbasis keagamaan gagal memperoleh dukungan mayoritas. Atas nama Tuhan, rakyat kebanyakan itu seringkali justru dilarang untuk ikut terlibat secara aktif dalam menentukan keberlakuan suatu ajaran agama seperti syariat Islam. Perjuangan pemberlakuan syariat Islam sebagai hasil ijtihad ulama di masa lalu itu pun menjadi elitis yang sulit dipahami dan tak menyentuh kesadaran keagamaan dari rakyat banyak yang diharapkan mendukung.

Kesadaran atas kesenjangan perjuangan suci atas nama Tuhan dengan kepentingan publik pemeluk agama di atas amatlah penting dipahami elite partai berbasis keagamaan khususnya Islam. Daripada memandang rendahnya dukungan politik keberlakuan aturan syariat sebagai sebuah rekayasa konspirasi kekuatan anti Islam, lebih baik mencermati doktrin vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan) di dalam sistem demokrasi. Elite partai berbasis keagamaan Islam perlu dengan sungguh dan jujur disertai hati dan pikiran yang jernih memahami kesadaran keagamaan, kepentingan sosial, politik, dan ekonomi rakyat yang mayoritas memeluk Islam tersebut. Dari sini akan bisa dibangun sebuah basis kekuatan politik keagamaan lebih demokratis yang didukung mayoritas rakyat.

Wilayah profan

Dalam kenyataan sosial, kaum agamawan bisa bekerja sama di dalam wilayah yang bukan disebut agama yaitu wilayah yang sering disebut sekuler atau profan. Namun hal kerja sama ini hampir tertutup dalam wilayah agama atau yang sakral. Sementara yang sakral dan yang profan merupakan tafsir, persoalan keagamaan mungkin penting ditafsir sebagai persoalan profan dan sekuler sehingga terbuka bagi dialog dan negosiasi atau suatu kompromi.

Dalam hubungan itulah, etika dan moral dari ajaran semua agama yang universal bisa dijadikan konsensus kedua sesudah konsensus nasional yang melahirkan Pancasila sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Namun lebih penting lagi ialah menyusun sistem perundang-undangan, sistem sosial, ekonomi dan politik dalam sistem demokrasi yang bersumber etika dan moral keagamaan universal, bukan meletakkan Pancasila sebagai dasar ideologi negara yang abstrak yang bisa dengan mudah ditarik ke kiri atau ke kanan. Bagaimana pun Pancasila atau lebih luas lagi Pembukaan UUD 1945 adalah akar kehidupan sosial yang hingga saat tetap disepakati bersama oleh semua pihak. Konsensus nasional pertama itu adalah landasan dasar bagi bangsa ini untuk bergerak lebih maju dalam memecahkan banyak persoalan nasional bidang politik dan ekonomi serta moralitas kenegaraan berdasar kesadaran keagamaan dan kesadaran politik rakyat banyak.

Abdul Munir Mulkhan Pengamat politik dan agama

Banner ads show at the top of every page, while text ads show up on the right-hand side of most pages (like on this one). The cost of an ad is $1.00 and $0.25 per 1000 impressions for banner and text ads respectively. You can control the starting and ending dates of your campaign, as well as the maximum number of ads shown to a specific user. If you have any questions feel free to send me an email at dppimm@yahoo.com.

To purchase an ad now, click here and follow the directions.

Thanks,

Promotor
© 2002 DPP IMM, All Rights Reserved