Mencari Esensi 17 Agustus 2002


Oleh Reza Indragiri Amriel
  Advertising  
  Support IMM and his starving members. Place an ad here for as little as $5!  
  University Link  
  Lihat Univ. Muhammadiyah Se-Nusantara IMM beside Student!  

Saya baru saja usai membaca dua tulisan. Makalah pertama, ditulis oleh Tony Ward, guru besar psikologi forensik dari Australia, berjudul "The Management of Risk and the Design of Good Lives" (2002). Sedangkan esai kedua, "Restorative Justice From The Perspective of Crime Victims" (1999), disusun oleh Sam Garkawe, seorang akademisi hukum. Kedua artikel jurnal yang membahas program rehabilitasi bagi para pesakitan tersebut menggiring pemikiran saya untuk menerawang ke tanah air.

Tujuh belas Agustus, saat bendera Merah Putih berjejer di sepanjang jalan dan matahari pagi disambut oleh pekik merdeka dan nyanyian lagu-lagu perjuangan oleh anak-anak sekolah, sekitar dua ratus juta sanubari publik mungkin tergugah untuk merenungi kembali esensi kemerdekaan yang telah berusia selama lima puluh tujuh tahun.

Dalam batin, saya menafsirkan kemerdekaan dari dua sisi. Yang pertama, sebut saja sisi 'negatif', karena saya mengasosiasikannya dengan berbagai atribut negatif. Dengan demikian, dari sisi ini, kemerdekaan adalah hilangnya ketertindasan, pupusnya ketakutan, dan binasanya keterkekangan. Sementara dari sisi positif, kemerdekaan identik dengan keberdayaan, kebangkitan, dan keaktualisasian hidup.

Mensinergikan kedua interpretasi tersebut, merdeka idealnya tidak hanya ditandai oleh absennya segala unsur negatif yang menaungi kehidupan bangsa, namun sekaligus dipenuhi oleh elemen-elemen positif yang membuat dinamika negeri ini lebih semarak lagi berpengharapan.

Selanjutnya, masih dipengaruhi oleh kerangka berpikir Ward dan Garkawe, saya menganalogikan warga bangsa Indonesia saat ini sebagai sekumpulan pesakitan dan tingkah laku mereka sebagai manifestasi kehidupan. Karena hidup dalam keadaan sedemikian rupa tidaklah menyenangkan, maka semestinya ada kesadaran inderawi yang disertai penghayatan nurani untuk menjadikan 17 Agustus kali ini sebagai semacam momentum rehabilitasi.

Melalui momentum kuratif ini, masing-masing warga bangsa merevitalisasi tujuan utama mereka dalam hidup berbangsa (ultimate goal, primary good lives), disertai dengan menyalanya kondisi-kondisi internal berupa keyakinan, sikap positif, dan kapabilitas, serta tersedianya berbagai kelengkapan eksternal dalam wujud kesempatan dan dukungan.

Dengan seluruh komponen tersebut, tidak hanya Indonesia terhindar dari kemungkinan untuk jatuh ke jurang yang sama di masa mendatang, tetapi juga mampu membangkitkan segenap potensi yang ada menuju format yang lebih baik.

Atmosfer psikis

Pada tahun 1945, Soekarno dan Hatta menyebut 'atas nama bangsa Indonesia' ketika membacakan teks proklamasi. Kendati pada dasarnya Soekarno dan Hatta adalah elite nasional, digunakannya sebutan tersebut memberi warna kebersatuan antara pemimpin dan rakyat. Perpaduan itu membentuk sebuah atmosfer psikis, sebagai simbol kesenyawaan dan kesejajaran, yang melatari dikumandangkannya sangkakala pergantian masa dari periode penjajahan ke era kemerdekaan.

Becermin pada Proklamasi 1945, maka seyogianya pada peringatan 17 Agustus tahun ini juga ada sebuah peristiwa nasional yang menjadi titik tolak dibukanya lembaran sejarah baru. Permasalahannya, berbeda dengan tahun 1945, berbagai kalangan dewasa ini justru merasakan adanya garis demarkasi yang begitu tebal antara pemimpin dan rakyat. Ini merupakan sebuah kenyataan ironis. Tatkala supremasi rakyat digemakan sebagai intisari demokrasi, pada kenyataannya arah gerak bangsa ini masih dominan ditentukan oleh mereka yang kadung disebut sebagai para pemimpin nasional.

Persepsi bahwa dunia politik, termasuk perilaku para pemimpin bangsa, senantiasa berisi pertikaian adalah sama sekali tidak berlebihan. Meskipun demikian, kerinduan akan adanya dunia politik yang jernih, tenang, serta sebangun antara pemimpin dan rakyat juga laksana mimpi di siang bolong. Khayalan seperti ini hanya eksis sebagai 'fantasi utopia' (Hartman & Gibbard, 1974), yang dialami para individu pada saat diterpa oleh perasaan tak berdaya akibat kegagalan dalam menyesuaikan diri baik terhadap lingkungan maupun konflik-konflik internalnya.

Walaupun, merujuk pada fantasi utopia, permohonan maaf oleh para pemimpin nasional dianggap mengada-ada. Padahal, maaf merupakan isyarat kerendahhatian, sekaligus pengakuan akan kedurhakaan politik karena telah mengabaikan amanat rakyat. Lewat permintaan maaf, berlangsung peleburan diri para topdog ke dalam diri mereka yang selama ini telah diperlakukan sebagai underdog. Biarpun simbolik, maaf menjadi antitesis terhadap perangai egosentris yang diperagakan oleh para elite nasional manakala berkompetisi memenuhi kepentingan primordial mereka masing-masing.

Ringkasnya, menurut hemat penulis, permintaan maaf dari pemimpin nasional kepada semesta rakyat adalah sebuah peristiwa monumental yang patut direalisasikan pada perayaan Hari Kemerdekaan tahun 2002 ini. Ada terlalu banyak bukti bagi pemimpin nasional untuk mengakui kesalahan dan dilanjutkan dengan mengutarakan pertobatannya.

Beberapa di antaranya, kegagalan otoritas pemerintahan untuk mencegah terjadinya aksi pembantaian pada Idul Fitri 1999 di Ambon, kekejian militer dan milisi terhadap warga sipil Aceh, rendahnya perlindungan terhadap para pekerja Indonesia yang dizalimi di luar negeri, terbunuhnya mahasiswa demonstran, skandal keuangan negara, dan berjuta persoalan lainnya.

Mengajukan permohonan maaf memang bukan perkara ringan. Pemerintahan John Howard di Australia, misalnya, hingga kini masih menunjukkan resistensinya untuk memenuhi desakan berbagai kalangan agar melakukan permohonan maaf nasional kepada para keluarga aborigin yang telah menjadi korban program penculikan anak (child abduction). Kiranya tidak hanya faktor harga diri yang menjadi isu sentral di sini, melainkan juga kekhawatiran akan adanya berbagai tuntutan lanjutan yang dapat mengarah pada eksploitasi terhadap sumber-sumber daya pemerintah.

Kontras dengan Australia, Pemerintah Jepang telah beberapa kali meminta maaf atas tingkah laku ekspansif mereka di masa silam. Dunia berdecak kagum, karena negara yang kini menjadi salah satu raksasa di bidang iptek itu ternyata masih memiliki kepekaan hati untuk melakukan retrospeksi diri.

Akibatnya, kendati masalah kompensasi oleh pemerintahan Jepang masih belum sepenuhnya terselesaikan, masyarakat internasional cenderung tidak lagi menyimpan trauma terhadap Jepang sebagai mantan negara imperialis.

Setali tiga uang dengan Jepang adalah Pakistan. Belum lama ini, Presiden Musharaf menyatakan penyesalannya yang mendalam atas kekeliruan yang telah dilakukan negaranya di masa silam terhadap Bangladesh. Tindak lanjut pernyataan Musharaf itu belum diketahui.

Tetapi dalam kunjungan kenegaraannya ke Bangladesh, Musharaf disambut langsung oleh PM Khalida Zia dengan bentangan karpet merah. Tidak ada dendam, karena kedua pihak bertekad bahwa orientasi mereka adalah menciptakan masa depan yang lebih cerah bagi kedua pihak.

Membandingkan ketiga negara tersebut, selintas terdapat kesan bahwa keberanian pemimpin nasional untuk mengajukan permintaan maaf, berbanding terbalik dengan persepsinya akan relasi menguasai dan dikuasai. Artinya, semakin tinggi persepsi tentang superior-inferior, maka semakin rendah inisiatif pemimpin untuk meminta maaf.

Jika hipotesis ini dapat diterapkan, bisa dipahami bahwa dalam konteks kehidupan dalam negeri, konstelasi superior-inferior akan berakibat kontraproduktif bagi fondasi demokrasi yang tengah dibangun. Karena, apabila diverbalisasikan, relasi yang dengan ciri tersebut analog dengan (dalam bentuk ekstrem) splitting personality, yang menganut kredo, Aku bukan kamu. Aku yang benar, kamu yang salah.

Interaksi Tiga Segi

Tidak hanya dari kacamata politik, permintaan maaf dari pemimpin kepada rakyat juga memiliki pembenaran psikologis. Buruknya relasi vertikal dalam kehidupan berbangsa tidak semata-mata menguras energi pemimpin.

Penalarannya, karena keputusan untuk mengubah 'kebijakan' vertikal seperti yang ada selama ini dikhawatirkan akan berisiko pada hilangnya otoritas atas sumber-sumber daya (kolapsnya bangunan kekuasaan), maka penguasa akan cenderung memilih untuk melestarikan relasi vertikal tersebut. Ibarat seorang klien yang tengah menjalani terapi, karena terkuaknya problem diri adalah sangat mengerikan, maka energi sang klien habis untuk mempertahankan tegaknya dinding-dinding pertahanan psikis.

Pada saat yang sama, kajian psikologis membuktikan bahwa disharmoni vertikal dalam lingkup domestik membangkitkan dan memperteguh keberadaan kelompok-kelompok yang kontra terhadap pemerintah.

J. Post (1986), sebagai misal, menemukan adanya kekhasan dalam interaksi tiga segi antara negara (pemerintah), orang tua (parent), dan anak (child). Pola interaksi tiga unsur ini menjadi penentu bagi anak untuk menjadi pejuang separatis maupun aktivis anarkis. Post memasukkan kelompok separatis (nationalist-separatists) dan kelompok anarkis (anarchic-ideologues) sebagai dua jenis kelompok teroris.

Saya sendiri menghindari penggunaan kata teroris. Karena, seperti ungkapan umum, teroris bagi kelompok tertentu adalah pahlawan bagi kelompok lain.

Interaksi pertama. Manakala orang tua berhasil membina hubungan ideal dengan anaknya, sementara hubungan orang tua dengan negara berlangsung negatif (disloyal), maka anak akan berkembang menjadi pendukung gerakan separatisme. Aksi kontra anak terhadap negara, berdasarkan interaksi pertama, merupakan perlawanan antargenerasi yang diwariskan oleh orang tua kepada anak.

Sebaliknya, interaksi kedua, loyalitas orang tua terhadap negara, yang tidak disertai dengan positifnya ikatan batin antara orang tua dan anak, hanya akan mendorong anak untuk bergabung ke dalam kekuatan-kekuatan anarkis.

Dalam interaksi kedua, penolakan anak untuk tunduk terhadap negara bisa jadi merupakan pemindahan (displacement) kebencian dari orang tua ke negara. Negara dipandang anak sebagai substitusi orang tua. Guna menjustifikasi tindakannya, kelompok anarkis akan mencari rasionalisasi melalui gugatan terhadap kebijakan-kebijakan negara yang bersifat mengekang (sebagai simbol pembangkangan terhadap kekangan orang tua).

Harmoni antara negara, orang tua, dan anak, menurut Post, tidak akan menghasilkan sebuah kondisi bagi keterlibatan anak baik dalam separatisme maupun anarkisme. Bertolak belakang dengan itu, disharmoni tiga segi merupakan prasyarat sempurna bagi anak untuk masuk ke dalam dua variasi aktivitas perlawanan tersebut.

Tentu, ada sejumlah pertanyaan yang dapat diajukan terhadap penelitian Post. Juga perlu dicermati kompleksitas faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap keputusan individu untuk masuk ke dalam barisan separatis dan anarkis.

Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang ada, riset tentang interaksi tiga segi di atas memaparkan bahwa separatisme dan anarkisme (dua problem yang juga tengah menyambangi bangsa ini) adalah konsekuensi yang harus dihadapi oleh para pemimpin nasional manakala tindak-tanduk mereka secara frontal antagonistik dengan harapan rakyat. Dalam konteks kekinian di Indonesia, apatisme bahkan antipati massal merupakan kondisi psikis yang sangat potensial bagi berkembangnya ketidaksetiaan (disloyalty) yang ditujukan oleh rakyat kepada para pemimpin nasional.

Jadi, sekali lagi, di balik sorak-sorai dirgahayu 17 Agustus 2002, sebuah ucapan maaf penuh ketulusan dari para pemimpin nasional, insya Allah, akan menjadi penawar yang dapat meredakan linangan air mata Ibu Pertiwi. Mudah-mudahan belum terlambat. Wallaahu a'lam.

Reza Indragiri Amriel Tengah Mendalami Psikologi Forensik di The University of Melbourne

Banner ads show at the top of every page, while text ads show up on the right-hand side of most pages (like on this one). The cost of an ad is $1.00 and $0.25 per 1000 impressions for banner and text ads respectively. You can control the starting and ending dates of your campaign, as well as the maximum number of ads shown to a specific user. If you have any questions feel free to send me an email at dppimm@yahoo.com.

To purchase an ad now, click here and follow the directions.

Thanks,

Promotor
© 2002 DPP IMM, All Rights Reserved