Menyoal Pendidikan Agama Pluralis


Oleh Ahmad Fuad Fanani
  Advertising  
  Support IMM and his starving members. Place an ad here for as little as $5!  
  University Link  
  Lihat Univ. Muhammadiyah Se-Nusantara IMM beside Student!  

AGAMA, pemahaman keagamaan, dan sikap keberagamaan adalah tiga pengertian yang saling terkait antara satu dengan lainnya. Agama adalah persoalan ketuhanan yang diturunkan kepada manusia untuk dipahami, dijadikan pegangan dan prinsip mengatur kehidupannya. Agama sesungguhnya secara normatif adalah ajaran suci, penuh kedamaian, kemuliaan, dan menghargai kemanusiaan.

Masalah mendasar menyangkut persoalan keagamaan saat menjadi sikap keberagamaan, adalah masalah hubungan antarpemeluk agama satu dan lainnya. Wilayah kebenaran penafsiran agama sering menggunakan standar ganda; kebenaran dianggap menjadi otoritas kelompok agamanya sendiri, sedangkan umat agama lain dianggap jauh dari kebenaran. Padahal pemilik kebenaran sejati adalah Tuhan. Berangkat dari pemahaman ini, maka kebenaran yang ditafsirkan selama ini hanyalah kebenaran yang relatif.

Benar bahwa dalam masing-masing agama diajarkan untuk membela, menyebarkan, dan patuh pada kebenaran agamanya. Tetapi, hal itu harus disesuaikan dengan kondisi sosiologis, antropologis, historis, di mana umat beragama itu berada. Jika ia berada dalam masyarakat yang homogen keberagamaannya, tentu itu tidak menjadi soal. Namun, ketika agama ada dalam masyarakat yang multireligius dan multikultur, tentu menjadi problem yang membutuhkan penyelesaian. Jika tidak, akan tercipta klaim kebenaran yang mengarah pada pengkultusan dan pembelaan buta yang akan berbahaya pada kehidupan sosial.

Oleh karena itu, perlu ada-meminjam istilah Amin Abdullah (1999)-kompromi antara normativitas dan historisitas agama. Sebab, jika tetap seperti itu, agama akan menjadi isu paling empuk untuk kepentingan politik sesaat yang sering sesat. Bukankah konflik agama yang sering terjadi pada akhir Orde Baru banyak diletupkan dengan dalih SARA (suku, agama, ras, antargolongan)?

Jika tidak ada usaha pendamaian, agama sering dijadikan alasan berperang demi membela Tuhannya. Sebagaimana diungkap Karen Armstrong dalam The Battle for God (1999), munculnya kekejaman atas nama agama akhir-akhir ini adalah dari wacana fundamentalisme yang menggejala secara luas pada masing-masing agama.

Bila ditelusuri dengan hati dan pikiran jernih, sesungguhnya keragaman dan perbedaan yang ada di muka bumi adalah justru wujud kasih sayang Tuhan. Tuhan tidak menciptakan satu kelompok yang monolitik dan eksklusif; tetapi kelompok itu justru sebagai upaya untuk saling bekerja sama, tolong menolong, serta berkompetisi secara benar dan sehat untuk kebaikan (fastabiqul khairat).

Cendekiawan Nurcholish Madjid juga menegaskan (Pluralitas Agama, 2001), bahwa pluralitas sesungguhnya adalah hukum Tuhan yang ada sejak awal penciptaan dunia ini.

Yang penting untuk dicamkan adalah, meski jalan yang kita tempuh untuk mencapai kebenaran berbeda, namun tujuan kita tetap kebenaran itu sendiri. Atau dalam bahasa Cak Nur, satu Tuhan yang dituju namun beda pada jalannya. Maka sikap keberagamaan yang inklusif dan mengakui pluralitas adalah kebutuhan mendesak yang harus segera diwujudkan.

Kesalahan paradigma pendidikan

Salah satu aspek penting untuk mengembangkan keberagamaan yang inklusif dan pluralis sebenarnya adalah pendidikan. Sayang, aspek pendidikan (agama) selama ini kurang tersentuh, karena hanya dipandang sebagai persoalan pinggiran yang tidak signifikan.

Padahal, pendidikan (dalam arti umum) adalah basis atau dasar untuk menciptakan SDM dan pembentukan karakter suatu bangsa. Pendidikan, sebagaimana ditegaskan Ahmad Syafii Ma'arif (2001), sesungguhnya juga wahana paling efektif untuk internalisasi nilai-nilai demokrasi, pluralisme, dan inklusivisme.

Pendidikan di Indonesia selama Orde Baru, hanya sebagai proses pemenuhan kewajiban yang cenderung bersifat proyek instan, sehingga yang terjadi hanya sekadar pembentukan manusia yang siap kerja dan menjadi pegawai. Era Orde Baru, pendidikan hanya disamakan dengan pengajaran; aspek pembentukan sikap, kepribadian, mental, dan kreativitas jauh dari jangkauan pendidikan. Hasil pendidikan model Orde Baru tidak mengajarkan atau bahkan menjauhi sikap keberagamaan yang pluralis-inklusif. Ketika itu yang diajarkan justru yang menumbuhkan sikap kebenaran dan pembelaan pada agamanya sendiri.

Mengingat pendidikan zaman Orde Baru sebatas pengajaran, maka sebagaimana proses transfer of knowledge, mengandaikan siswa sebagai obyek yang bisa dibentuk sesuai kemauan guru. Meminjam istilah Paulo Freire, siswa menjadi manusia yang hanya memiliki kesadaran magis, menerima semua yang diterima sebagai kebenaran mutlak, tanpa kesadaran kritis. Padahal, pendidikan sebenarnya pembentukan manusia sempurna yang melalui proses dialogis, penghargaan kemanusiaan, dan saling menekankan kebebasan dan keadilan (Azyumardi Azra, 1999).

Kesalahan lain dalam dunia pendidikan kita, menurut Kautsar Azhari Noer (2001), adalah kurangnya apresiasi terhadap pendidikan humaniora. Justru yang digalakkan dan dianggap prestisius, selama ini, adalah pendidikan alam dan teknik yang cenderung mekanistik. Akibatnya, para siswa dan pendidik di Indonesia kurang bisa menghubungkan aspek normatif suatu ilmu pengetahuan dengan kenyataan sosial yang terjadi di sekitarnya.

Dalam pendidikan Barat, ilmu humaniora memiliki kedudukan sejajar dengan ilmu lama atau ilmu teknologi lainnya. Pendidikan humaniora adalah pendidikan yang menekankan pada realitas sosial, kepedulian sosial, pembentukan kesadaran, serta perjuangan kemanusiaan dan keadilan.

Sebagai bagian sistem pendidikan nasional, pendidikan agama mengalami kondisi yang tidak jauh berbeda. Karena itu pendidikan agama selama ini kurang bisa diharapkan kontribusinya dalam pembentukan masyarakat yang menghargai pluralisme, dan tidak menunjang demokratisasi. Apalagi, selama ini para guru agama di sekolah dan perguruan tinggi umumnya hanya menekankan ajaran agama yang bersifat teologis-dogmatis, sehingga makin membentuk chauvinisme rasa kebenaran pada agamanya sendiri. Dampaknya, pengajaran agama menjadi kurang menyentuh aspek realitas sosial yang sesungguhnya, tidak sampai pada persoalan aksi nyata dari proses perilaku keagamaan.

Hal itu, menurut Amin Abdullah (2001), antara lain disebabkan oleh metode dan sistem pengajaran pendidikan agama. Pendidikan agama cenderung menekankan eklusivitas kebenaran agama, mengabaikan aspek pluralitas serta inklusivitas. Selain itu teks-teks yang dijadikan rujukan dan acuan mesti kembali ke masa lalu, seperti Perang Salib, ekspansi bangsa Arab, dan pemaksaan penyebaran agama-agama.

Kautsar Azhari Noer juga menengarai, pendidikan agama selama ini kurang menyentuh aspek fenomenologi agama yang bisa menemukan titik-titik persamaan untuk kemanusiaan universal. Yang banyak ditekankan justru aspek teologis dan ritualitas formal yang banyak sekali perbedaannya.

Agama pluralis

Pendidikan agama pluralis adalah model pendidikan yang menekankan pada nilai-nilai moral seperti kasih sayang, cinta, tolong-menolong, toleransi, tenggang rasa, kebajikan, menghormati perbedaan pendapat, dan sikap-sikap kemanusiaan yang mulia lainnya. Sedangkan pengkajian agama harus dilakukan atas dasar obyektivitas pencarian kebenaran lewat cara-cara ilmiah. Aspek kesalahpahaman masa lalu harus dipaparkan secara seimbang tanpa ada pembelaan pada salah satu agama, dan juga sebaliknya.

Teks yang diajarkan dalam pendidikan agama pun harus diperbarui serta disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan zaman. Buku Sejarah Tuhan karya Karen Armstrong (2001) adalah contoh yang menarik untuk dikaji, sebab ia mengajarkan agama dari sudut pandang sejarah yang obyektif.

Pendidikan agama pluralis, kini, di Indonesia, menjadi sebuah kebutuhan mendesak diwujudkan karena merupakan sebuah proses untuk mengatasi dan menyelesaikan konflik atas nama agama yang akhir-akhir banyak terjadi. Pendidikan demikian itu akan banyak maknanya, dalam rangka mengikis pengaruh peninggalan pendidikan Orde Baru. Bila zaman Orde Baru, pendidikan agama kayaknya sengaja dibuat ke arah eksklusif, supaya terjadi pertentangan antara warga. Dari pertentangan yang timbul itu penguasa bisa melanggengkan kekuasaannya yang hegemonis.

Masyarakat harus menyadari hal itu dan berpartisipasi secara kreatif mewujudkan pluralitas, menciptakan kedamaian secara bersama-sama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks ini, pengalaman kolaborasi antar-iman dalam menentang rezim apharteid di Afrika Selatan seperti dituturkan Farid Essack (2000) dapat dijadikan bahan refleksi dan contoh aksi. Dari kasus Afrika Selatan itu terbukti, penanaman faham pluralisme dan pembebasan dari eksploitasi yang paling efektif untuk mewujudkan kerukunan dan kedamaian.

Pendidikan agama pluralis menjadi amat penting jika kita memang berkeinginan mempertahankan dan memelihara keberlangsungan persatuan Tanah Air ini. Era otonomi daerah sering disalahgunakan para elite politik untuk berkuasa, yang tidak mustahil atau bahkan sudah sering, dengan memperalat, mempolitisasi agama. Kita harus mengubah paradigma dalam beragama, supaya agama jangan sampai dijadikan alat politik lagi.

Perlu ditanamkan sikap dan kesadaran dewasa dalam menghadapi perbedaan agama dan perilaku keagamaan. Antar-umat beragama harus bersatu menentang ketidakadilan, status quo, monopoli, dan bentuk kejahatan kemanusiaan lain. Sikap dan kesadaran macam itulah yang sudah terbukti amat berhasil di Afrika Selatan.

Ke depan, kita perlu mengubah paradigma; pendidikan agama harus menekankan aspek emansipatoris, transformasi sosial, mengapresiasi humaniora, dan pembentukan kesadaran pada peserta didik. Jika itu bisa dilakukan, pendidikan akan efektif menjadi soko guru penegakan pluralitas agama yang sempat tertunda-tunda realisasinya.

Jika faham pluralisme sudah membumi dan menjadi pedoman sehari-hari bermasyarakat dan bernegara, niscayalah kita akan hidup rukun tanpa rasa dengki satu sama lain; kita akan temukan ketenteraman, kedamaian, kesentosaan, dan kesejahteraan; kita akan mendapat nikmat dari Tuhan berlimpah-limpah.

Ahmad Fuad Fanani mahasiswa Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta, mantan Ketua Umum IMM Cabang Ciputat

Banner ads show at the top of every page, while text ads show up on the right-hand side of most pages (like on this one). The cost of an ad is $1.00 and $0.25 per 1000 impressions for banner and text ads respectively. You can control the starting and ending dates of your campaign, as well as the maximum number of ads shown to a specific user. If you have any questions feel free to send me an email at dppimm@yahoo.com.

To purchase an ad now, click here and follow the directions.

Thanks,

Promotor
© 2002 DPP IMM, All Rights Reserved