BOM WAKTU KONSTITUSI BARU


*Renungan Pasca-Sidang Tahunan MPR 2002
  Advertising  
  Support IMM and his starving members. Place an ad here for as little as $5!  
  University Link  
  Lihat Univ. Muhammadiyah Se-Nusantara IMM beside Student!  

SETELAH 21 Mei 1998, monumen jatuhnya Soeharto, tanggal 11 Agustus 2002 juga akan dikenang dalam kamus gerakan reformasi. Pada saat itu, MPR menutup Sidang Tahunan (ST) 2002, dan mempersembahkan sebuah konstitusi baru pada masyarakat Indonesia. Meski proses perubahan konstitusi menggunakan label "amandemen" dan nama konstitusi tidak berubah, namun dilihat dari institutional design-nya, yang dihasilkan ST MPR 2002 memang sebuah konstitusi baru untuk Indonesia Baru.

Namun, tanpa disadari konstitusi baru juga meninggalkan bom waktu yang akan terus mengganggu perjalanan bangsa Indonesia. Pasal 37 Ayat (4) mengatur bahwa perubahan pasal Undang-Undang Dasar (UUD) dapat dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50 persen ditambah satu dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Ketentuan ini akan menjadi insentif bagi aneka kelompok politik untuk terus membawa Indonesia dalam situasi pertarungan perubahan konstitusi.

Padahal, proses perubahan konstitusi selalu membuat politik menjadi panas. Selain itu, prinsip konstitusi yang terlalu sering diubah akan mengganggu membuat konsolidasi pelembagaan prinsip konstitusi. Apalagi jika hal ini dikaitkan Pasal 29 UUD 45 tentang hubungan negara dan agama. Ketentuan Pasal 37 Ayat (4) itu membuat fondasi negara Indonesia modern terus-menerus dalam risiko berubah.

Sepantasnyalah solusi bagi bom waktu konstitusi baru itu dipikirkan, sebelum negara kita sekali lagi ada dalam pertarungan politik dengan sentimen primordial yang tidak seharusnya terjadi.

Pelajaran

Kita dapat mengambil pelajaran dari kasus amandemen konstitusi di Amerika Serikat. Sejak negara itu merdeka 226 tahun lalu, lebih dari 1.000 proposal dibuat untuk mengubah konstitusinya. Rata-rata dalam satu tahun ada lima proposal perubahan konstitusi. Padahal, fragmentasi politik dalam masyarakat Amerika Serikat tidak separah Indonesia. Ketentuan untuk mengubah konstitusi juga lebih sulit karena membutuhkan dukungan dua pertiga anggota Kongres.

Mengingat ketentuan mengubah konstitusi dipersulit, akhirnya proposal yang berhasil mengubah pasal-pasal konstitusi hanya sebanyak 27 kali saja. Dan, perubahan itu untuk prinsip yang amat mendasar, sesuai spirit zaman.

Sebanyak 12 kali perubahan, termasuk soal Bill of Rights, terjadi sebelum tahun 1804. Setelah itu, baru selama 65 tahun kemudian terjadi kembali proses perubahan konstitusi menyangkut amandemen ke-13, 14, dan 15. Proses perubahan ini menyangkut prinsip dasar dan perubahan zaman yang terjadi setelah perang saudara di Amerika Serikat.

Perubahan ke-13 mengenai penghapusan perbudakan turut memicu perang saudara. Perubahan ke-14 menyangkut kekuasaan pemerintah federal (pusat) yang diperbesar akibat aneka gerakan separatisme dalam perang saudara.

Perubahan ke-15 menyangkut hak kulit hitam untuk memilih dalam pemilu. Sesudah perbudakan kulit hitam resmi dihapus, warga negara kulit hitam menjadi warga negara biasa, yang hak sosial politiknya mesti disamakan dengan warga negara lain.

Jika dibuat rata-rata, perubahan pasal di Amerika Serikat terjadi 10 tahun sekali. Karena ketatnya syarat perubahan, hanya sekitar tiga persen dari seluruh proposal perubahan yang berhasil.

Di antara lebih dari 90 persen proposal perubahan yang ditolak, antara lain, usulan untuk melarang aborsi, usulan untuk mengubah negara Amerika Serikat menjadi sejenis negara Kristen.

Dapat dibayangkan apa yang terjadi bila syarat perubahan konstitusi di Amerika Serikat diperlonggar dari keharusan dukungan dua pertiga mayoritas menjadi separuh plus satu. Proposal perubahan pasti datang lebih banyak. Dan, mungkin banyak perubahan konstitusi terjadi hanya karena perubahan political mood zaman, tidak prinsipiil, atau bahkan merusak fondasi negara modern.

Para pemimpin partai politik dan elite berpengaruh harus kembali mempertimbangkan syarat perubahan konstitusi di Indonesia. Prasyarat dukungan separuh plus satu anggota MPR terlalu riskan. Lebih baik prasyarat dikembalikan pada aturan sebelumnya, seperti di Amerika Serikat, dua pertiga dari kuorum sidang paripurna MPR.

Relevansi

Diperketatnya kembali prasyarat perubahan akan semakin terasa relevan jika dikaitkan dengan seting historis dan sosiologis politik Indonesia. Pertarungan Pasal 29 tentang hubungan negara dan agama akan terus menjadi agenda permanen. Keinginan memasukkan tujuh kata Piagam Jakarta, berupa kewajiban syariat Islam bagi pemeluknya, sudah diperjuangkan sejak Indonesia merdeka tahun 1945. Kini, lebih dari lima puluh tahun kemudian, aspirasi itu terus hidup.

Benar bahwa dalam ST MPR 2002, aspirasi Piagam Jakarta itu tak berhasil diadopsi. Namun, dapat dipastikan, aspirasi itu akan terus diperjuangkan, apalagi kini syarat perubahan sudah jauh lebih mudah. Sebelumnya pendukung Piagam Jakarta membutuhkan dua pertiga mayoritas MPR, kini mereka hanya butuh dukungan separuh plus satu.

Tak hanya Piagam Jakarta yang mendapat insentif untuk kembali mengamandemen UUD 1945 secepatnya. Para nasionalis tua akan pula mencoba menghidupkan kembali aspirasi politik UUD 1945 lama, seperti kehadiran kembali utusan golongan, sistem MPR sebagai supreme body, dan sistem semipresidensiil.

Sementara politisi yang pro pada demokrasi Eropa Barat dan demokrasi di Indonesia tahun 1950-an, juga akan memperjuangkan sistem parlementer. Akibatnya, sebelum negara kita bernapas dari aneka perdebatan konstitusional, Pasal 37 Ayat (4) yang mempermudah prasyarat perubahan konstitusi, menjadi bom waktu yang mempertaruhkan fondasi politik Indonesia modern untuk terus-menerus dalam risiko diubah secara mudah.

Perlu pula dipikirkan, agar Pasal 29 yang acapkali mengundang perdebatan emosional diberikan solusi yang permanen. Misalnya, Pasal 29 yang menjamin netralitas negara dalam pluralisme agama adalah pasal yang tidak bisa diubah selama negara Indonesia berdiri. Kunci permanen ini akan menjadi mekanisme paling efektif agar perdebatan Piagam Jakarta tidak lagi terjadi.

Prinsip pasal yang tak dapat diubah adalah hal yang lumrah dalam negara demokrasi. Bahkan, amandemen keempat di ST MPR 2002 juga menerapkannya, tetapi untuk Pasal 37 Ayat (5), yang berbunyi: Khusus mengenai Negara Kesatuan Republik Indonesia tak dapat dilakukan perubahan. Perlu pula dipertimbangkan dalam Pasal 29 itu ditambah Ayat (3), yang berbunyi: Khusus mengenai netralitas negara dalam pluralisme agama tak dapat dilakukan perubahan.

Dipandang dari prinsip demokrasi, prinsip netralitas negara dalam pluralisme agama jauh lebih mendasar dibanding prinsip negara kesatuan. Lawan negara kesatuan adalah negara federalisme. Dalam himpunan negara demokrasi, untuk negara yang luas, banyak yang berbentuk negara kesatuan, namun banyak juga yang berbentuk negara federalisme.

Tanpa dikunci sekalipun, perubahan bentuk negara dari negara kesatuan sebenarnya tidak membahayakan prinsip negara demokrasi. Namun, karena historisitas Indonesia, prinsip negara kesatuan yang tak boleh diubah masih dapat diterima, karena ia dapat dikombinasikan dengan otonomi daerah seluas-luasnya.

Namun, lawan dari prinsip negara yang netral atas pluralisme agama adalah negara agama itu sendiri. Dalam himpunan negara demokrasi, semua negara demokrasi bukan negara agama.

Untuk kepentingan demokrasi di Indonesia, jika prinsip negara kesatuan saja dapat dikunci untuk tidak boleh diubah, seharusnya prinsip negara yang netral atas pluralisme agama dikunci pula untuk tidak boleh diubah. Kepentingan untuk mengunci Pasal 29 agar tidak boleh diubah jauh lebih mendesak, baik ditinjau dari prinsip demokrasi ataupun sejarah politik Indonesia.

Kita ucapkan selamat kepada semua anggota MPR yang berhasil mempersembahkan konstitusi baru. Namun, pada saat yang sama, sekali lagi kita harap anggota MPR merenungkan bom waktu yang mereka letakkan dalam konstitusi baru untuk selekasnya dicarikan solusi.

DENNY JA Direktur Eksekutif Yayasan Universitas dan Akademi Jayabaya

Banner ads show at the top of every page, while text ads show up on the right-hand side of most pages (like on this one). The cost of an ad is $1.00 and $0.25 per 1000 impressions for banner and text ads respectively. You can control the starting and ending dates of your campaign, as well as the maximum number of ads shown to a specific user. If you have any questions feel free to send me an email at dppimm@yahoo.com.

To purchase an ad now, click here and follow the directions.

Thanks,

Promotor
© 2002 DPP IMM, All Rights Reserved